JATIMTIMES - Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN) Malang resmi menobatkan Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA sebagai Bapak Ekoteologi Indonesia. Gelar tersebut diberikan sebagai bentuk penghargaan atas gagasannya yang memadukan nilai-nilai spiritual Islam dengan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Rektor UIN Malang, Prof. Dr. Hj. Ilfi Nur Diana, M.Si., menyebut pemberian gelar itu bukan sekadar seremoni, melainkan bentuk pengakuan terhadap warisan pemikiran yang telah menginspirasi arah kebijakan kampus. “Kami menobatkan beliau sebagai Bapak Ekoteologi Indonesia karena gagasannya telah menjadi inspirasi bagi kami dalam membangun kesadaran ekologis berbasis keagamaan,” ujarnya dalam peluncuran Program Pendampingan Pesantren UIN Malang belum lama ini.
Baca Juga : PG PAUD Unikama Dorong Peningkatan Mutu Guru lewat Materi Strategi Atasi Parental Hunger
Komitmen terhadap nilai ekoteologi di kampus tersebut diwujudkan melalui berbagai langkah konkret. UIN Malang melakukan penghijauan di lahan seluas 20 hektar, membangun green building di Kampus III, dan menerapkan konsep green campus di Kampus I. Selain itu, kampus juga menggagas Gerakan Ekopesantren, program pendampingan penerapan fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah) melalui kegiatan pengabdian dosen dan KKN mahasiswa. Program ini diharapkan mampu mendorong lahirnya pesantren hijau yang berkelanjutan.
Dalam sambutannya, Menag Nasaruddin Umar mengapresiasi langkah UIN Malang yang disebutnya sebagai salah satu kebanggaan Kementerian Agama. Ia menegaskan bahwa ASN Kemenag tak hanya berperan sebagai aparatur negara, tetapi juga sebagai bagian dari gerakan dakwah dan pembinaan umat. “Lembaga seperti UIN, IAIN, dan STAIN tidak hanya tempat belajar, tapi juga rumah dakwah. Dosen-dosennya harus bisa menyalakan nurani mahasiswa, bukan sekadar mentransfer ilmu,” katanya.
Menurut Nasaruddin, seorang pendidik sejati bukan hanya berpikir dengan logika, tetapi juga menggerakkan rasa. Ia menyinggung makna kata guru dalam bahasa Sanskerta yang berarti pengusir kegelapan, simbol tanggung jawab moral seorang pengajar. “Kalau dosen kampus umum selesai mengajar lalu pulang, itu biasa. Tapi dosen UIN berbeda. Masyarakat menaruh ekspektasi lebih tinggi. Mereka dianggap teladan, bahkan setengah malaikat,” ujarnya dengan nada reflektif.
Menag juga mengingatkan pentingnya kebersihan hati dalam proses keilmuan. Ia mengutip pepatah klasik al-ilmu nurun wa nurullah la yahdilu li ‘ashi, ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan menembus hati yang kotor. Ia mengajak para dosen memulai hari dengan laku spiritual seperti tahajud dan doa, agar ilmu yang disampaikan membawa keberkahan dan menumbuhkan kesadaran spiritual mahasiswa.
Baca Juga : Pagelaran Wayang Kulit Lakon Wahyu Makutharama Meriahkan Malam Resepsi HUT ke-24 Kota Batu
Lebih jauh, Nasaruddin menjelaskan bahwa sumber ilmu dalam tradisi Islam tidak hanya berasal dari rasio, tetapi juga dari intuisi, ilham, bahkan mimpi. Ia mencontohkan tradisi ilmuwan Islam di masa Baitul Hikmah, yang menganggap mimpi sebagai bagian dari proses pencarian ilmu. “Ilmu tidak selalu turun dari kepala ke kepala. Kadang ia mengalir dari hati yang bersih menuju hati yang siap menerima,” ucapnya.
Menutup arahannya, Nasaruddin menegaskan visi besar Kementerian Agama: bukan sekadar mencetak sarjana, tetapi melahirkan cendekiawan berhati suci, pribadi yang menghidupkan ilmu dan menebarkannya di tengah masyarakat. “Kalau ilmu disampaikan dari hati, maka ia akan sampai ke hati. Dari hati-hati yang tercerahkan itulah peradaban tumbuh,” tutupnya.